Kepanjangan PMR



Sejarah PMR Di Indonesia


PMR adalah kepanjangan dari Palang Merah Remaja. Di Indonesia, Palang Merah Remaja didirikan pada 1 Maret 1950, setelah diadakan Kongres PMI ke-4 pada Januari 1950. Pendiri Palang Merah Remaja Indonesia adalah Siti Dasimah dan Paramita Abdurrahman.

PMR adalah wadah pembinaan dan pengembangan anggota remaja PMI di sekolah atau lembaga pendidikan formal dalam kepalangmerahan melalui kegiatan ekstrakurikuler.[1] PMR terdapat di PMI kota maupun kabupaten di seluruh Indonesia, dengan anggota lebih dari 5 juta orang, anggota PMR merupakan salah satu kekuatan PMI dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan kemanusiaan dibidang kesehatan dan siaga bencana, mempromosikan prinsip-prinsip dasar gerakan palang merah dan bulan sabit merah internasional, serta mengembangkan kapasitas organisasi PMI.


Kebijakan PMI dan federasi tentang pembinaan Remaja bahwa : 


1.Remaja merupakan prioritas pembinaan, baik dalam keanggotaan maupun kegiatan kepalangmerahan.

2.Remaja berperan penting dalam pengembangan kegiatan kepalangmerahan.

3.Remaja berperan penting dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan proses pengambilan keputusan untuk kegiatan PMI.

4.Remaja adalah kader relawan

5.Remaja calon pemimpin PMI pada masa depan.


Palang Merah Remaja atau PMR adalah suatu organisasi binaan dari Palang Merah Indonesia yang berpusat di sekolah-sekolah ataupun kelompok-kelompok masyarakat (sanggar, kelompok belajar, dll.) yang bertujuan membangun dan mengembangkan karakter Kepalangmerahan agar siap menjadi Relawan PMI pada masa depan.


Karakteristik PMR

  • Bersih
  • Sehat
  • Kepemimpinan
  • Peduli
  • Kreatif
  • Kerja sama
  • Bersahabat
  • Ceria
  • Inovatif
  • Agamais dan nasionalis


Sumber:

https://id.wikipedia.org/wiki/Palang_Merah_Remaja

Suku Baduy


 



Suku Baduy adalah masyarakat adat yang hidup di pedalaman Banten, Jawa Barat. Populasi suku Baduy diperkirakan sekitar 26.000 orang, termasuk sekelompok masyarakat yang sangat tertutup dari dunia luar. Masyarakat suku Baduy termasuk dalam sub-suku Sunda, yang belum terpengaruh modernisasi dan masih memiliki tradisi serta adat khas yang hampir sepenuhnya terasing dari dunia luar. Menurut penelitian, agama yang dianut oleh suku Badui adalah Sunda Wiwitan, yang merupakan sinkretisme antara Islam dan Hindu.


Sejarah 

Masyarakat suku Baduy tinggal di sebuah wilayah di kawasan Pegununan Kendeng, di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Jawa Barat. Terdapat beberapa versi terkait asal-usul suku Baduy, tetapi yang paling terkenal adalah mereka merupakan keturunan dari Kerajaan Pajajaran. Pada zaman dulu, warga Kerajaan Pajajaran mengasingkan diri ke wilayah Pegunungan Kendeng di Banten Tengah. Awal mula pengasingan terjadi karena wilayah Banten dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, yang datang dengan misi menyebarkan ajaran Islam. Putra Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin, kemudian mendirikan Kesultanan Banten pada abad ke-16. Pada 1570, Maulana Hasanuddin digantikan oleh putranya, Maulana Yusuf atau Panembahan Yusuf sebagai raja kedua Kesultanan Banten.

Ketika Panembahan Yusuf dari Banten mengalahkan Kerajaan Pajajaran, tidak seluruh masyarakatnya bersedia memeluk Islam. Mereka yang menolak kemudian menyingkir ke wilayah Banten Selatan dan keturunannya sekarang disebut suku Baduy. Selama berhari-hari menghabiskan waktu di jalan, rombongan ini sampai di hulu Sungai Ciujung di jantung Pegunungan Kendeng (sekarang Panembahan Arca Domas atau Petak 13). Sedangkan menurut pengamat budaya Baduy, orang-orang suku Baduy percaya bahwa nenek moyang mereka sudah ribuan tahun tinggal di wilayah Kaolotan. Ada juga yang percaya mereka adalah keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal-usul ini juga kerap disangkutpautkan dengan kisah Nabi Adam yang dianggap sebagai nenek moyang pertama mereka.


Asal-usul nama

Selain sejarahnya, asal-usul nama Baduy juga memiliki beragam versi. Di kalangan masyarakat Banten, nama Baduy dipercaya berasal dari sebuah sungai di sana yang bernama Cibaduy. Lalu, ada pula yang menyebutkan bahwa kata Baduy berasal dari kata Baduyut, karena tempat tinggal mereka banyak ditumbuhi pohon Baduyut. Namun, yang paling populer adalah para penjajah Belanda yang datang ke Nusantara menganggap orang Baduy mirip dengan orang Badui dari Timur Tengah. Sejak saat itu, mereka kerap disebut sebagai suku Baduy. Sementara orang Baduy menyebut diri mereka sebagai urang Kanekes atau orang Kanekes, sesuai dengan wilayah tempat mereka tinggal.


Adat istiadat orang Baduy

Suku Baduy terbagi menjadi dua bagian, suku Baduy dalam dan suku Baduy luar. Adapun perbedaannya adalah, suku Baduy dalam masih memegang teguh adat dan aturan dengan baik. Sementara suku Baduy luar sudah terpengaruh oleh budaya luar, seperti menggunakan sabun mandi, alat elektronik, dan mengizinkan orang luar menginap. Perbedaan lain juga bisa terlihat dari pakaian mereka. Suku Baduy dalam sehari-hari menggunakan baju berwarna putih yang melambangkan kesucian. Sedangkan pakaian suku Baduy luar adalah serba hitam. Suku Baduy dalam diketahui tinggal di tiga kampung, yaitu Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo, yang dipimpin oleh ketua adat disebut Pu'un. Suku Baduy luar tinggal di 50 kampung berbeda di kawasan Pegunungan Kendeng. Mereka berbicara menggunakan bahasa Sunda dialek Baduy.


Di samping itu, suku Baduy memiliki aturan yang masih terus dipatuhi sampai saat ini, khususnya oleh suku Baduy dalam, yaitu:

  • Tidak boleh menggunakan kendaraan sebagai transportasi
  • Tidak boleh menggunakan alas kaki
  • Pintu rumah harus menghadap utara atau selatan, kecuali rumah ketua adat 
  • Dilarang menggunakan alat elektronik
  • Harus menggunakan pakaian serba hitam atau putih yang ditenun dan dijahit sendiri
  • Tidak boleh menggunakan pakaian modern


Agama suku Baduy

Agama suku Baduy adalah Sunda Wiwitan, yaitu kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan leluhur yang sudah bersatu dengan alam. Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam Kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian, yang berasal dari zaman Kerajaan Sunda, berisikan ajaran keagamaan dan tuntunan moral.

Dalam Sunda Wiwitan, ada tiga macam alam yang dipercaya oleh suku Baduy, yaitu:

  • Buana Nyungcung: tempat bersemayamnya Sang Hyang Kersa Buana
  • Panca Tengah: tempat berdiam diri manusia 
  • Buana Larang: neraka


Biasanya, doa yang dilakukan oleh para penganut Sunda Wiwitan adalah lewat nyanyian pantun dan kidung yang disertai gerak tarian. Tradisi mereka dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi yang dikenal dengan sebutan Perayaan Seren Taun. Tempat sembahyang umat Sunda Wiwitan adalah pamunjungan atau kabuyutan, yaitu tempat punden berundak yang biasanya terletak di bukit.


Sumber:
https://www.kompas.com/stori/read/2022/06/15/120000379/suku-baduy--sejarah-adat-dan-agama?page=all#:~:text=Sumber:%20Tribunnews.com%2C%20Kompas,sinkretisme%20antara%20Islam%20dan%20Hindu.


Mengenal uang Kuno


Uang kuno

Uang Kuno adalah peninggalan sejarah  yang memiliki daya tarik tersendiri. Bahkan banyak orang yang akhirnya tertarik untuk memiliki uang kuno, walaupun secara fungsi uang ini sudah tidak bisa digunakan untuk bertransaksi.



Uang Kuno di dunia

Terdapat banyak sekali uang-uang kuno yang ada di dunia, baik yang masih dipakai maupun sudah tidak dipakai, contohnya adalah Dirham yang berasal dari Arab  Copper Dollar tahun 1794 dari amerika.

Di Indonedsia  uang kuno kebanyakan akan dikumpulkan atau dikoleksi, tak sedikit juga yang memperjual-belikannya, hobi mengumpulkan uang lama dan menjualnya disebut  numismatik.


Numismatik

Meskipun kurang begitu populer dibandingkan hobi mengumpulkan perangko (filateli), sebenarnya sudah banyak orang yang memiliki hobi mengumpulkan uang kuno. Uang kuno berupa uang kertas dan uang koin tersebut disimpan karena dirasa berharga dan memiliki kenangan tertentu. Ada pula uang kuno yang dikumpulkan untuk tujuan investasi. Hobi mengumpulkan uang kuno ini disebut numismatik.

Numismatik adalah suatu kegiatan mengumpulkan benda-benda terkait uang, seperti uang kertas, uang koin, token, dan benda-benda terkait lainnya yang pernah beredar dan digunakan oleh masyarakat. Numismatik mempelajari antara lain, sejarah mata uang, cara pembuatannya, ciri-cirinya, variasi yang ditemukan, pemalsuannya, sejarah politik terbentuknya mata uang tersebut, dsb. Koleksi numismatik tidak terbatas pada uang lama atau kuno tetapi termasuk uang yang sedang berlaku saat ini. Meskipun kebanyakan koleksinya memang berupa uang lama atau kuno. Koleksi numismatik bisa berasal dari berbagai negara dan masa peredaran. Masyarakat umum mengenal numismatik sebagai hobi mengoleksi uang kuno. Orang yang berkecimpung dalam dunia numismatik disebut numismatis.

Sumber:

https://id.wikipedia.org/wiki/Uang_kuno


Rumah adat Provinsi Riau



Salaso Jatuah Kambar (dalam bahasa Minangkabau) atau Selaso Jatuh Kembar adalah rumah adat khas Riau yang berupa balai selaso jatuh. Balai atau rumah adat ini difungsikan sebagai tempat berkegiatan bersama, sebagai tempat pertemuan, tetapi tidak digunakan sebagai tempat tinggal pribadi. Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar dikenal juga dengan sebutan balai penobatan, balirung sari, balai karapatan dan sebagainya. Dulu bangunan ini sangat ramai karena kerap digunakan oleh warga untuk melaksanakan acara-acara adat lokal, seperti musyawarah, penobatan kepala adat, untuk rapat perihal desa dan bahkan untuk melaksanakan upacara adat. Akan tetapi, sekarang semua itu telah digantikan oleh masjid.


Bentuk rumah adat Selaso Jatuh Kembar
Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar memiliki bentuk khusus. Bangunan rumah ini memiliki keliling yang selaras antara penyangganya dengan lantai yang lebih rendah. rumah adat ini juga dipercantik dengan berbagai macam ukiran dengan bentuk tumbuhan dan hewan.[2] Masing-masing ukiran memiliki makna dan nama yang berbeda-beda. Rumah adat Selaso Jatuh Kembar memiliki ukiran di bagian tangga yang disebut dengan lebah bergantung atau ombak-ombak karena bentuknya menyerupai ombak atau bisa dilihat juga mirip dengan lebah-lebah yang bergantungan. Ada juga ukiran yang disebut dengan ukiran melambai-lambai yang berada di bagian atas pintu dan daun jendela. Sedangkan ukiran yang diukir di bagian kisi-kisi pintu dan jendela dinamakan semut beriring karena bentuknya terinspirasi dari cara semut berjalan yang beriringan dan ini memiliki makna mendalam. Persoalan makna akan dibahas kemudian. Selain ukiran yang sudah disebutkan masih ada juga ukiran yang disebut dengan ukiran tiang menggantung di bagian tiang Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar. Bila anda melihat Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar di sana ada bagian yang tampak memanjang atau melengkung, bagian ini juga memiliki ukiran yang dinamakan kalok paku. Ada juga ukiran di bagian ujung atas dan juga di ujung bawah tiang. Ukiran di bagian atas dan dasar ini disebut dengan pucuk rebung karena bentuknya yang menyerupai bambu muda yang baru muncul dari tanah. Sementara itu, kalau anda mengamati bagian cucuran atap, di sana pun ada bagian khusus yang menyerupai sayap, bagian itu memiliki ukiran khusus yang disebut dengan sayap layangan atau sayap layang-layang. Bergeser ke bagian langit-langit, anda bisa melihat bagian ventilasi yang berukir. Ukiran ini disebut dengan melur atau bunga Cina atau bunga manggis. Penamanaan ini merujuk pada bentuk ukiran yang bentuknya sangat mirip dengan bunga cina ataupun bunga manggis. Pembuatannya pun juga berdasarkan pada dua jenis bunga tersebut. Terakhir adalah ukiran di bagian puncak yang dinamakan selembayung atau bahasa setempat disebut juga Sulobuyung.


Bahan dan fungsi rumah adat Selaso Jatuh Kembar
Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar berukuran besar. Jumlah susunanya lebih dari satu tingkat. Penamaan Selaso Jatuh Kembar diambil dari bentuk atau penampakannya secara keseluruhan yang mana rumah Adat Selaso Jatuh Kembar ini memiliki selasar atau dalam bahasa lokal disebut Selaso. Bagian ini posisinya lebih rendah dibandingkan dengan ruang tengah sehingga tampak jatuh. Sedangkan jumlah selasar itu sendiri tidak hanya satu melainkan dua, karena selaso yang jatuh ada dua maka disebut selaso jatuh kembar, mengingat bentuk selasonya pasti sama. Bahan pembuatan Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar diambil dari alam. atap rumah dibuat dari daun rumbia. Daun-daun tersebut disusun dan diikat menggunakan rotan pada tulang atap. Bagian dindingnya dibuat dari kayu-kayu. Bagian tiang juga dibuat dari kayu-kayu dengan kualitas terbaik. Kayu-kayu pilihan itu antara lain kayu meranti, kayu punak, atau kayu medang. Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar di masa lalu difungsikan sebagai balai pertemuan adat. Nama rumah adat inipun berhubungan dengan fungsinya.


Bagian-bagian rumah adat Selaso Jatuh Kembar
Rumah Selaso Jatuh Kembar memiliki beberapa bagian atau sekat yang menjadikannya memiliki beberapa ruang. Meski tidak digunakan sebagai tempat tinggal, sekat ini dibentuk karena memiliki fungsi tertentu. Ruang-ruang tersebut khusus sebagai tempat berkumpul untuk membedakan mana yang tetua, warga laki-laki dan perempuan. Di samping sebagai ruang untuk pertemuan, sebagian ruang yang lain difungsikan sebagai tempat menyimpan benda-benda adat. Benda-benda yang disimpan di rumah Adat Selaso Jatuh Kembar ini antara lain perlengkapan tari dan alat-alat musik. Masih ada lagi ruang untuk anjungan, tempat tidur khusus untuk prosesi terentu, dan ada juga dapur yang dimanfaatkan untuk memasak ketika ada acara di Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar. Berikut adalah bagian-bagiannya secara terperinci. Bagian Atap Rumah Selaso Jatuh Kembar terbuat dari daun rumbia dan daun pinah yang diikat pada tulang bubungan memakai tali rotan. Daun pinah atau daun rumbia digunakan sebagai bahan membuat atap karena di samping memberi efek kesejukan, di sana pada zaman dahulu belum akrab penggunaan genteng atau bahan pembuat atap lainya. Daun pinah dan rumbia sampai sekarang masih dipertahankan di beberapa rumah adat daerah.


Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar memiliki loteng yang dibuat tepat di atas dapur. Fungsi loteng adalah untuk mengeluarkan asap dapur dan juga digunakan pula sebagai menyimpan bahan makanan. Loteng dibuat dari papan Merbau yang merupakan kayu keras. Merbau dibuat menjadi tipis seukuran papan tapi masih kuat. Bagian loteng memiliki lubang angin sebagai ventilasi agar angin dapat keluar masih menyegarkan ruangan dapur. Ventilasi khusus loteng ini disebut dengan Bidai atau Singap. Bentuknya berundak-undak dan dihias dengan ukiran sehingga tampak memiliki nilai seni yang tinggi bagi yang mengetahuinya. Bagian loteng ini dilengkapi dengan bagian kecil di bawah lubang ventilasi, sehingga tampak seperti balkon kecil jika dilihat dari luar. Bagian tersebut dinamakan Teban layer. Umumnya bentuk Bidai atau ventilasi dari Loteng di atas dapur ini berbentuk segi enam, segi empat, segi delapan, dan bahkan ada yang berbentuk bulat. Berdasarkan keterangan adat disebutkan bahwa pemilihan bentuk tersebut disesuaikan dengan arah mata angin. Bagian loteng tetap tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur alam untuk membuatnya kokoh dan dapat mengurangi hawa panas yang dapat terjadi di dalam rumah.


Dari loteng mari berpindah ke kasau yang merupakan salah satu bagian dari atap. Kasau disebut juga dengan kaki kuda-kuda. Di bagian dapur, bagian ini akan menyatu dengan loteng. Kasau memiliki fungsi untuk mengikat atau memperkokoh bagan atap. Kasau memiliki dua bagian yakni Kasau Jantan dan Kasau Betina. Kasau Jantan diposisikan di bagian bawah sedangkan Kasau Betina diposisikan di bagian atas. Di antara posisi kasau Jantan dan Kasau Betina dipasangi dengan sesuatu yang disebut gulung-gulung. Bagian ini berbentuk persegi dan pemasangannya dibuat sejajar dengan tulang bubung untuk memperkuat posisi pemasangan atap.


Tiang Selaso Jatuh Kembar
Tiang selaso jatuh kembar merupakan tiang penopang rumah melayu ini. Tiang Selaso Jatuh Kembar dibuat dalam beberapa bentuk ada yang segi delapan dan segi empat menjelaskan arah mata angin. Tujuannya agar rejeki dan berkah mendatangi rumah dari setiap penjuru. Jika dibuat dalam bentuk segi enam hal itu menggambarkan rukun iman, dan jika dibuat dalam bentuk segi tujuh maka itu mewakili surga dan neraka yang memiliki tujuh tingkatan. Jika dibuat dalam bentuk segi sembilan atau disebut juga dengan tiang rangkayemaka itu berarti menggambarkan strata ekonomi penghuninya. Ukuran tiang penopang dari Rumah Adat Selaso Kembar berbeda-beda berdasarkan letak dan fungsinya. Tiang utama terdiri atas tiang seri dan tiang penghulu yang disebut juga tiang tuo. Jarak penempatannya sebesar 3 meter antar tiang. Sedangkan jumlah tiang utama ini biasanya berjumlah genap. Rata-rata memiliki ketinggian 1 meter sampai 2,5 meter. tinggi tiang akan semakin tinggi jika rumah dibangun semakin dekat dengan laut. Kayu yang digunakan untuk membuat tiang utama adalah kayu keras, seperti kayu Kulim, Tembesu, Resak dan Punak. Akan tetapi, zaman sekarang Rumah Adat Selaso Kembar ada yang dibangun dengan tidak mengandalkan tiang ini melainkan dibangun dengan batu bata dan semen, tujuannya agar lebih kokoh.


Rasuk
Rumah adat Selaso Kembar memiliki bagian yang dinamakan dengan rasuk, bagian ini digunakan sebagai penghubung atau tiang panjang untuk menghubungkan pasak antar tiang dan juga atap. Pasak yang digunakan berbentuk persegi dan digunakan untuk memaku antar tiang agar kokoh. Di zaman sekarang, fungsi pasak telah digantikan oleh paku untuk menghubungkan tiang ataupun antar rasuk. Di samping pasak, rasuk juga biasa dihubungkan dengan jenang di bagian atapnya. Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar memiliki dua jenis rasuk, yaitu rasuk berukuran besar dan rasuk berukuran kecil atau anak. Rasuk disusun hingga membentuk kerangka atap. Setelah jadi, barulah atap dipasangkan.


Dinding, pintu, jendela, lantai, tangga, dan kolong rumah adat Selaso Jatuh Kembar
Bagian-bagian krusial seperti dinding Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar dibuat dari kayu. Umumnya kayu yang dipilih adalah kayu yang kuat, seperti kayu meranti, kayu punak, dan kayu medang. Pemasangan kayu untuk dinding dibuat dalam bentuk papan lebar, kemudian disusun dengan teknik lidah pian. Penyusunan papan menjadi dinding dilakukan secara berhimpit agar rapat. Pemasangan kayu sebagai papan kini sudah mulai tergantikan oleh batu bata dan semen. Penggunaan Kayu juga dipilih untuk dipasang di bagian pintu, jendela, dan lantainya. Pintu dibuat dari bahan kayu punak dan tembesu. Rumah Adat Selaso Kembar memiliki dua macam pintu. Pertama pintu yang menghubungkan penghuni dengan area luar rumah dan kedua pintu yang menghubungkan antar ruang yang ada di dalam Rumah Adat Selaso Kembar. Kedua pintu itu memiliki sebutan yang berbeda. Pintu untuk menghubungkan bagian antar ruang di dalam rumah dibuset dengan pintu malim atau pintu curi karena kadang digunakan untuk mengintip siapa saja tamu yang datang, dengan kata lain di sana ada kegiatan curi pandang. Sedangkan pintu yang menghubungkan bagian dalam rumah dengan bagian luar tidak memiliki sebutan khusus. Kedua jenis pintu ini memiliki lubang angin di bagian atas. Sedangkan di bagian bawahnya dipasangi kisi-kisi. Pada bagian lubang angin dihias dengan ukiran khusus. Begitu pula dengan daun pintunya, dihias dengan ukiran tertentu yang umumnya kombinasi antara binatang dan tanaman.


Sementara itu, jendela juga dibuat dari jenis kayu yang sama. Jendela Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar memiliki ukuran yang bergantung pada ketinggian dinding rumah. Umumnya, ukuran jendela di ruang utama akan dibuat lebih tinggi daripada jendela di bagian lainnya. Sementara lantainya juga dibuat dari bahan kayu yang sama. Kayu dibuat dalam bentuk papan dan dipasangkan dengan posisi rapat satu sama lain di dalam bangunan. Pemasangan dilaksanakan dengan hati-hati. Papan kayu akan saling terhubung satu sama lain dari lantai utama sampai dengan ruang dapur. Pola penyusunannya disamakan dengan posisi rasuk di atap sehingga membentuk sinkronisasi yang tepat. DI bagian ujung lantai akan diperkuat dengan batas lantai yang disebut dengan bendul. Batas lantai ini juga dibuat dari bahan kayu yang sama. Bendul berfungsi sebagai pengikat ataupun penguat di bagian ujung lantai.[5]


lanjut ke bagian tangga rumah. Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar memiliki tangga yang dibuat dari kayu pula. Akan tetapi, pada zaman modern ini tangga dari Rumah Adat Selaso Kembar sudah dibuat menggunakan batu bata atau semen. Penggunaan kayu pada zaman dulu haruslah kayu yang keras dan kuat untuk menahan segala macam perubahan cuaca. DI bagian sisi kanan dan kiri tangga Rumah Selaso Jatuh Kembar terdapat ukiran yang menyerupai tanaman dan satwa. Ukiran tersebut memiliki makna tersendiri. Kemudian, bagian terakhir adalah kolong rumah. Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar memiliki bagian kolong yang digunakan sebagai tempat menyimpan kayu bakar. Kolong juga berfungsi untuk menyimpan perahu atau sampan yang digunakan warga untuk melaut. Rumah Adat Selaso Jatuh kembar miliki keluarga di bagian kolongnya akan penuh dengan barang-barang milik keluarga, kebanyakan akan berhubungan dengan jenis mata pencaharian mereka. Sedangkan di Rumah Selaso Jatuh Kembar yang merupakan rumah adat atau bangunan serbaguna, maka di bagian kolongnya akan digunakan sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda adat untuk digunakan melaksanakan upacara adat khusus.


Corak ukiran rumah adat Selaso Jatuh Kembar
Setiap bagian dari Rumah Adat Selaso Kembar memiliki ukiran tertentu. Masing-masing dibuat dengan corak tertentu. Rumah Adat Selaso Kembar memiliki ukiran yang disebut dengan itik Sekawan. Corak ini diukir di bagian dinding yang memiliki makan agar manusia hidup berdampingan, selaras, damai, kompak, dan bersama-sama sampai akhir. Corak itik sekawan berbentuk itik berbaris berjalan bersama-sama kembali menuju kandang karena itu disebut juga dengan itik pulang petang. Ada juga ukiran yang disebut dengan ukiran pucuk rebung. Corak pucuk rebung dibuat menyerupai pucuk atau tunas bambu yang masih muda. Tunas tersebut tumbuh meruncing di mana memiliki makna tersendiri berdasarkan bentuknya. Berdasarkan bentuknya ada Pucuk Rebung Bertunas memiliki makna hilangnya rasa lapar dan dahaga yang menandakan setiap permasalahan selalu ada penyelesaiannya. Lalu, Pucuk Rebung Sekuntum sebagai simbol duduk bersama-sama untuk berdiskusi atau bermusyawarah mencapai mufakat ketika ada persoalan yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Kemudian, Pucuk Rebung Kaluk Paku sebagai simbol agar selalu bergotong royong dan saling membantu sesama warga desa. Terakhir, Pucuk Rebung Sirih Tunggal sebagai simbol penghalang, celaka, dan sial dapat muncul dari mana saja karena itu setiap individu harus berhati-hati. Pucuk rebung ini dapat terlihat di bagian tiang-tiang rumah, di bagian pangkal maupun di bagian atasnya.


Selain ukiran Itik Sekawan dan Pucuk Rebung, ada juga ukiran yang disebut dengan Lebah Bergantung (Ombak-ombak). Ukiran lebah bergantung dibuat berdasarkan sarang lebah yang menggantung di pohon atau suatu tempat. Corak ini biasanya terdapat di bawah tangga, sebagai simbol untuk mengingatkan agar semua orang menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain seperti lebah yang menghasilkan madu yang bermanfaat untuk semua orang. Ukiran hewan lainnya ada yang disebut dengan Semut Beriring. Corak semut beriring sebagai simbol semut berjalan beriringan yang memiliki makna agar kehidupan manusia senantiasa mengikuti sifat semut yang selalu rukun, tolong menolong, rajin, dan teguh pada pendirian. Terakhir adalah simbol alam semesta yang berupa Awan Larat. Awan larat dibuat dalam bentuk rangkaian motif yang sama dibuat berjejer secara rapi dan berdampingan dan terhubung satu sama lain. corak ini menjadi simbol kemudahan mendapatkan rejeki. Awan larat bisa dijumpai di bagian anak tangga, sisi pintu dan jendela, serta di bagian atas ventilasi rumah. Semua itu berhubungan dengan kepercayaan lokal, bahwa jalan rejeki bisa berasal dari mana saja, dan datangnya juga bisa dari arah manapun. Ventilasi menggunakan simbol arah mata angin yang ini berhubungan erat dengan datangnya rejeki bisa datang dari arah mana saja. Sedangkan pintu dan jendela adalah jalan angin, yang merupakan jalan lapang untuk memasukkan rejeki ke dalam rumah. Sementara anak tangga, jelas maksudnya untuk membimbing seseorang atau rejeki itu sendiri memasuki jalan pintu yang benar.


Sumber:

© Copyright - Tim IT SMP Negeri 2 Jatisari - Mr. Eka - Powered by Blogger - Designed by Tim IT